Jejak Konferensi Dunia dan Pesona Kota Tempo Dulu

Jalan Asia Afrika di Kota Bandung bukan sekadar ruas jalan biasa. Kawasan ini adalah jantung sejarah dan simbol persaudaraan dunia, tempat di mana semangat kemerdekaan Asia dan Afrika pernah bergema pada tahun 1955. Di sepanjang jalan ini, jejak masa lalu berpadu harmonis dengan keindahan arsitektur klasik yang menjadikannya destinasi wisata bersejarah favorit wisatawan lokal maupun mancanegara.

Asal-usul Jalan Asia Afrika tak bisa dilepaskan dari Jalan Raya Pos (de Groote Postweg) — proyek ambisius Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang dibangun antara tahun 1808 hingga 1811. Jalan Raya Pos membentang sejauh 1.000 kilometer dari Anyer hingga Panarukan, menghubungkan kota-kota penting seperti Batavia (Jakarta), Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan tentu saja Bandung. Dari proyek inilah lahir jalan yang kini dikenal sebagai Jalan Asia Afrika, saksi bagi lahirnya dan berkembangnya Kota Bandung.

Menurut buku Telusur Bandung karya Febriana dan Teguh Amor, kawasan ini bukan hanya jalur penting bagi transportasi dan pemerintahan kolonial, tetapi juga ruang interaksi sosial lintas budaya. Di masa Hindia Belanda, Jalan Asia Afrika membelah Bandung secara horizontal: wilayah utara diperuntukkan bagi warga Eropa, sedangkan wilayah selatan menjadi kawasan bagi pribumi — Jawa, Sunda, dan etnis lainnya.

Bangunan-bangunan bersejarah di sepanjang jalan ini menambah daya tariknya. Hotel Savoy Homann, hotel pertama di Bandung, pernah menjadi tempat menginap para tokoh dunia, sementara Gedung Merdeka menjadi panggung sejarah Konferensi Asia Afrika (KAA) yang menyatukan bangsa-bangsa dari dua benua dalam semangat solidaritas dan kemerdekaan.

Kini, Jalan Asia Afrika bukan hanya tempat mengenang sejarah, tetapi juga ruang publik penuh pesona. Lampu jalan bergaya klasik, trotoar yang rapi, dan deretan bangunan Art Deco menjadikannya simbol keanggunan Bandung tempo dulu yang tetap hidup di tengah modernitas kota.