Dari Pos Penjagaan Daendels hingga Menjadi Kota Tentara

Cimahi, yang kini dikenal sebagai “Kota Tentara”, menyimpan jejak panjang sejarah yang membentuk identitasnya. Awalnya, Cimahi hanyalah sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Bandung. Baru pada 21 Juni 2001, wilayah ini resmi ditetapkan sebagai kota otonom berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2001.

Namun, kisah Cimahi dimulai jauh sebelum itu. Nama Cimahi mulai dikenal pada tahun 1811, saat Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels membangun jalan legendaris Anyer–Panarukan. Di kawasan yang kini menjadi Alun-alun Cimahi, dibangun sebuah pos penjagaan militer, menandai awal peran strategis wilayah ini dalam urusan pertahanan dan transportasi.

Tahun 1874 hingga 1893 menjadi babak penting, ketika jalur kereta api Bandung–Cianjur dibangun. Bersamaan dengan itu, lahir Stasiun Cimahi, yang kemudian memicu perkembangan ekonomi dan permukiman di sekitarnya.

Tak lama berselang, pada 1886, pemerintah kolonial mendirikan pusat pendidikan militer, lengkap dengan fasilitas pendukung seperti Rumah Sakit Dustira dan Rumah Tahanan Militer. Sejak saat itulah, Cimahi lekat dengan dunia militer dan dijuluki “Kota Tentara”, julukan yang bertahan hingga kini.

Pada 1935, Cimahi resmi ditetapkan sebagai kecamatan. Setelah Indonesia merdeka, wilayah ini menjadi bagian dari Kabupaten Bandung Utara, dan pada 1962 terbentuk Kawedanaan Cimahi yang membawahi beberapa kecamatan di sekitarnya.

Tonggak penting berikutnya terjadi pada 29 Januari 1976, ketika Cimahi diresmikan sebagai kota administratif pertama di Jawa Barat melalui PP Nomor 29 Tahun 1975. Puncaknya, pada 21 Juni 2001, Cimahi naik status menjadi kota penuh dengan tiga kecamatan utama: Cimahi Utara, Cimahi Tengah, dan Cimahi Selatan.

Kini, di tengah hiruk pikuk urbanisasi, jejak sejarah Cimahi tetap terasa kuat—sebuah kota yang lahir dari disiplin militer, tumbuh dengan semangat perjuangan, dan berkembang menjadi bagian penting dari Bandung Raya.