Gedung Pakuan, Jejak Ibu Kota Priangan
Di balik rindangnya pepohonan tua di Jalan Otto Iskandardinata, berdiri sebuah bangunan yang menjadi saksi perjalanan panjang Kota Bandung
Redaksi
5/8/20242 min read


Di balik rindangnya pepohonan tua di Jalan Otto Iskandardinata, berdiri sebuah bangunan yang menjadi saksi perjalanan panjang Kota Bandung. Gedung Pakuan, rumah dinas Gubernur Jawa Barat ini bukan sekadar hunian pejabat, melainkan simbol dari peralihan pusat kekuasaan Priangan pada abad ke-19.
Kisahnya bermula pada 1856, ketika Bandung ditetapkan menggantikan Cianjur sebagai ibukota Karesidenan Priangan. Pemindahan ini bukan hanya soal strategi letak Bandung yang lebih menjanjikan, tapi juga karena Cianjur kala itu porak-poranda akibat rentetan letusan Gunung Gede antara 1840 hingga 1841. Perintah pendirian rumah dinas Residen memang sudah direncanakan oleh Gubernur Jenderal Ch. F. Pahud, namun baru terlaksana delapan tahun kemudian, di bawah Residen Van der Moore.
Pembangunannya dimulai pada 1864 di ujung Residentsweg atau kini Jalan Otista. Butuh tiga tahun hingga akhirnya rampung pada 1867. Tenaga yang dikerahkan bukan sembarangan, anggota Genie Militair Belanda bahu-membahu bersama warga Bandung. Dalem Bintang R.A.A Wiranatakusumah IV, Bupati Bandung ke-8, turut mendukung dengan mengerahkan penduduk Kampung Babakan Bogor dan Balubur Hilir. Sebagai kompensasi, warga mendapat keringanan pajak. Dari gotong royong lintas kepentingan inilah lahir sebuah bangunan megah yang diberi nama Gedung Pakuan.
Secara arsitektur, Gedung Pakuan tampil dengan gaya Indische Empire Stijl, khas kolonial Hindia Belanda abad ke-19. Pilar-pilar besar, langit-langit tinggi, dan orientasi bangunan yang menghadap Gunung Malabar menegaskan keanggunannya. Gaya yang sama bisa ditemukan pada Istana Bogor, Istana Merdeka, hingga Gedung Kesenian Jakarta. Di Bandung, tata letak ini selaras dengan tradisi jika pendopo bupati menghadap Tangkuban Parahu di utara, maka Pakuan berdiri tegak menghadap ke selatan.
Bagian dalam Gedung Pakuan terbagi menjadi tiga area utama yang saling melengkapi. Sayap barat, yang menghadap Jalan Cicendo, digunakan sebagai ruang rapat baik kecil maupun besar. Sementara itu, sayap timur yang mengarah ke Kebon Kacang, berfungsi sebagai dapur, ruang kerja ajudan, serta kamar tidur anak. Area tengah menghadirkan suasana klasik dengan pendopo, ruang tamu utama, ruang makan, yang kemudian berlanjut ke taman, gazebo, masjid, dan lapangan tenis di bagian belakang.
Gedung Pakuan mengalami banyak renovasi/perbaikan di masa Gubernur Yogi SM. Karena gedung ini didirikan di lahan kebun karet, diceritakan di halaman belakang gedung ini pernah berdiri sebuah pohon karet raksasa dengan diameter dua meter. Pohon itu menjadi saksi bisu perjalanan waktu hingga akhirnya ditebang pada masa Gubernur Dani Setiawan, dan digantikan oleh pohon beringin yang hingga kini kokoh berdiri.
Selama masa Gubernur Ridwan Kamil, Gedung Pakuan mengalami sejumlah renovasi. Selain memperbaiki beberapa bagian bersejarah, fasilitas olahraga seperti kolam renang juga ditambahkan. Hal ini dilakukan atas anjuran dokter yang merekomendasikan terapi berenang setiap hari agar Ridwan Kamil tetap bugar dan sehat dalam menjalankan tugasnya.
Berbeda dari gubernur-gubernur sebelumnya, Gubernur Dedi Mulyadi memiliki rencana untuk mengubah Gedung Pakuan menjadi museum budaya Sunda dan museum digital yang akan dibuka untuk umum. Tempat ini akan menjadi ruang edukasi sejarah dan budaya Sunda, dilengkapi dengan perpustakaan manual dan digital.
Gedung Pakuan bukan hanya sekadar kantor atau tempat tinggal dinas Gubernur Jawa Barat. Gedung ini adalah simbol perjalanan hidup Bandung sebagai pusat pemerintahan, sebuah monumen yang merangkum sejarah, arsitektur, dan kehidupan Priangan. Keberadaannya sangat penting bagi Jawa Barat dan Kota Bandung, menjadi pengingat akan warisan dan perkembangan yang terus bergulir.**