Dari Kuliner Legendaris hingga Jejak Aktivisme
Jalan Tamblong adalah lorong waktu yang menyimpan sejarah panjang, dari kolonialisme hingga aktivisme mahasiswa era 1960-an.
Redaksi
5/8/20242 min read


Jalan Tamblong di pusat Kota Bandung bukan sekadar ruas jalan. Ia adalah lorong waktu yang menyimpan sejarah panjang, dari asal-usul nama, bangunan kolonial, kuliner legendaris, hingga jejak aktivisme mahasiswa era 1960-an.
Nama Tamblong berasal dari keluarga Tionghoa, Tam Long, seorang juragan kayu yang sejak 1874 bermukim di kawasan ini. Pada masa itu, Bandung masih sederhana, menurut catatan warga Jerman R. Teuscher, hanya ada tujuh bangunan permanen di kota bandung, sisanya rumah kayu dan bilik bambu. Termasuk Hotel Savoy Homann yang kini jadi ikon kota.
Memasuki era 1930-an, kuliner legendaris Bandung ikut lahir di Jalan Tamblong. Pada 1936 berdiri Hazes (yang kini dikenal dengan nama Rasa Bakery & Cafe) di Tamblong No.15, menyusul Maison Bogerijn (Braga Permai) di 1921 dan Sumber Hidangan di 1929 di jalan Braga yang tidak jauh dari jalan ini. Kehadiran Hazes menguatkan bahwa Tamblong menjadi simpul penting tradisi roti dan kue klasik di Kota Bandung.
Tak jauh dari sana, berdiri Hogere Burger School (HBS) pada 1925 atau sekolah elit bagi warga Belanda, Eropa, dan pribumi bangsawan. Kini bangunannya menjadi Puskesmas Tamblong, berstatus cagar budaya golongan A yang menandai nilai historis kawasan.
Sejarah Tamblong juga dekat dengan pergerakan mahasiswa paska-kemerdekaan. tepatnya Pada 19 juni1966, tabloid Mahasiswa Indonesia terbit pertama kali di jalan ini, menjadi pusat diskusi kritis mahasiswa di era transisi politik dan pers mahasiswa, dimana setahun setelah terbit. sepucuk editorial edisi 19 Juni 1967 berjudul “Di Sini Berdiri dan Kami Suarakan Amarah Suci Sebuah Angkatan” menjadi salah satu tonggak penting dalam khazanah pemikiran politik Indonesia. Salah satunya terpilih masuk antologi Indonesian Politics and Society: A Reader (2023) yang disunting David Bourchier dan Vedi R Hadiz.
Awal tahun 1970-an, Jalan Tamblong-pun dikenal sebagai jalur wara-wiri “gongli” (bagong lieur) sepulang pesta dansa. Fenomena itu terekam dalam puisi Remy Sylado Kota Kita (1971):
“…Di antara gongli Jalan Tamblong,
ada yang rada silung tapi lumayan geulis,
lahir di Garut tahun lima opat…”
Beberapa tahun kemudian, musisi Iwan Fals ikut menyebut Tamblong dalam lagu Mince Makelar (1978), sebagai kritik sosial terhadap gaya hidup urban yang sarat akan kesenjangan.
Kini, Jalan Tamblong Bandung tak hanya menjadi akses lalu lintas yang menghubungkan menghubungkan jalan Asia Afrika hingga perempatan Lembong, Veteran, dan Sumatera di pusat kota Bandung, tetapi juga jalur sejarah. Dari perkampungan kayu hingga jejak aktivisme mahasiswa, Tamblong adalah bukti bahwa sebuah jalan bisa menjadi saksi hidup perjalanan kota. Menyusuri Tamblong berarti membaca kembali denyut nadi Bandung yang tak pernah berhenti menulis cerita.**